Kamis, 09 Juni 2011

Agama dan Proses Konseling

A. PENERAPAN AJARAN AGAMA DALAM KONSELING
Konseling Islami melalui penerapan ajaran agama dalam koseling pada hakikatnya bukanlah merupakan hal baru, tetapi telah ada bersamaan dengan diturunkanNya ajaran Islam kepada Rasulullah SAW untuk pertama kali. Ketika itu ia merupakan alat pendidikan dalam sistem pendidikan Islam yang dikembangkan oleh Rasulullah. Secara spiritual bahwa Allah memberi petunjuk (bimbingan) bagi peminta petunjuk (bimbingan).
Jika perjalanan sejarah pendidikan Islam ditelusuri secara teliti dan cermat sejak masa Nabi hingga saat ini, akan ditemukan bahwa layanan bimbingan dalam bentuk konseling merupakan kegiatan menonjol dan dominan. Praktik-praktik Nabi dalam menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh para sahabat ketika itu, dapat dicatat sebagai suatu interaksi yang berlangsung antara konseling dan klien/konseli, baik secara kelompok (misalnya pada model halaqah ad-dars) maupun secara individual.
Dilihat dari sejarah perjalanan kehidupan manusia, maka jelaslah bahwa mereka tidak dapat melepasakan diri dari problem kehidupan. Karena manusia adalah sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk Allah/makhluk religius, juga akan menjalin hubungan dengan Allah baik melaui muamalah dengan Allah maupun melalui ubudiyah. Oleh karena itu problem-problem yang akan dihadapi manusia dalam kehidupannya akan meliputi problem fisik, psikis, keluarga, penyesuaian diri dengan lingkunagan/masyarakatnya, dan problem religius yang berkenaan dengan hubungannya kepada Allah dalam muamalah dan ubudiyahnya. Selain berdimensi keduniaan juga berdimensi.



B. PENERAPAN KONSEP AGAMA DALAM MENGATASI MASALAH AGAMA DALAM KONSELING
Sebagai makhluk berproblem, di depan manusia telah terbentang berbagai petunjuk bagi solution (pemecahan, penyelesaian) terhadap problem kehidupan yang dihadapinya. Namun, karena tidak semua problem dapat diselesaikan oleh manusia secara mandiri, maka ia memerlukan bantuan seorang ahli yang berkompeten sesuai dengan jenis problemnya dan agaknya perlu dilakukan dengan penerapan ajaran agama dalam konseling.
Dalam hal ini, kesempurnaan ajaran agama Islam menyimpan khazanah-khazanah berharga yang dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan problem kehidupan manusia. Secara operasional khazanah-khazanah tersebut tertuang dalam konsep konseling Islami dan secara praktis tercermin dalam proses face to face relationship (pertemuan tatap muka) atau personal cantact (kontak pribadi) antara seorang konselor profesional dan berkompeten dalam bidangnya dengan seorang klien/konseli yang sedang menghadapi serta berjuang menyelesaikan problem kehidupannya, untuk mewujudakan amanah ajaran agama Islam, untuk hidup serta tolong menolong dalam jalan kebaikan, saling mengingatkan dan memberi nasehat untuk kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Hidup secara Islami adalah hidup yang melibatkan terus-menerus aktivitas belajar dan aktivitas konseling (memberi dan menerima nasehat).
Kelihatan dengan jelas bahwa konseling Islami itu adalah proses konseling yang berorientasi pada ketentraman hidup manusia dunia-akhirat. Pencapaian rasa tentram (sakinah) itu adalah melalui upaya pendekatan diri kepada Allah serta melalui upaya untuk memperoleh perlindunganNya. Tetapi sakinah itu akan menghantarkan individu untuk berupaya sendiri dan mampu menyelesaikan masalah kehidupannya. Dengan demikian secara tegas dikatakan bahwa konseling Islami mengandung dimensi spiritual dan dimensi material. Dimensi spiritual adalah membimbing manusia pada kehidupan rohaniah untuk menjadi beriman dan bertaqwa kepada Allah. Sedangkan dimensi material membantu manusia untuk dapat memecahkan masalah kehidupan agar dapat mencapai kemajuan. Prinsip-prinsip inilah yang dengan tegas membedakan konsep konseling Islami dengan kinsep konseling hasil dari pengetahuan dan empirik Barat.
Selanjutnya konseling Islami juga merupakan proses konseling yang berorientasi kepada tujuan pendidikan Islam, dan bertujuan membangun kehidupan sakinah, kehidupan tidak hanya sekedar mencapai kemakmuran, tetapi juga ketentraman hidup spiritual. Oleh karena itu, dalam konseling Islami sasaran utamanya adalah rekonstruksi hati manusia.
Dengan demikian konseling merupakan pemberian arahan dan dorongan agar manusia mau dan mampu memberdayakan potensinya dalam wujud upaya kreatif mandiri untuk menyelesaikan permasalahan kehidupannya demi mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat di bawah naungan ridho dan kasih sayang Allah SWT.
Bantuan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada upaya membantu penyelesaian masalah individu ketika ia menghadapinya, tetapi lebih lanjut juga mengarahkannya untuk mampu memahami dirinya sebagai makhluk yang harus dapat menjalin/membina hubungan ubudiyah dengan Allah dan hubungan sosial dengan sesamanya. Efek dari konseling Islami adalah lahirnya klien/konseli yang dapat tampil sebagai individu dengan hidup secara sakinah (tenang) karena penyebab utama problem kehidupan manusia (adanya amrad al-qulub=penyakit/kotoran hati) telah berhasil disembuhkan/dibersihkan atau dihindari dengan terciptanya qalbun salim (hati sehat/bersih) atau nafs mutma’innah (jiwa tentram) pada diri individu, sehingga misi khalifah dapat diemban dengan sebaik-baiknya sebagaimana diamanatkan oleh Allah (Syaiful Akhyar, 2007:79-97)
Adapun asas sebagai kaidah, ketentuan yang diterapkan serta dijadikan landasan dan pedoman penyelenggaraan konseling Islam, yakni:
1. Asas Ketauhidan
Tauhid adalah pengesaan Allah yang merupakan syarat utama bagi penjalinan hubungan antara hamba dengan penciptaanNya. Tauhid dimaksudkan sebagai penyerahan total segala urusan, masalah kepada Allah sehingga terjadi sinkronisasi antara keinginan manusia dengan kehendak Allah yang pada gilirannya akan membuahkan as-Sidq, al-Ikhlas, al-‘ilim dan al-ma’rifah.
2. Asas Amaliah
Sebagai helping process, konseling Islami tidak hanya merupakan interaksi verbal (secara lisan) antara klien/konseli dan konselor, tetapi yang lebih penting adalah klien dapat menemukan dirinya melalui interaksinya, memahami permasalahannya, mempunyai kemauan untuk memecahakan masalahnya, melakukan ikhtiat/tindakan untuk memecahkan masalahnya.
3. Asas Akhlaqul al-Karimah
Dalam konteks pendidikan Islam, dengan tegas dinyatakan bahwa hakikat pendidikan Islam adalah Tarbiyah al-akhlak (pendidikan akhlak), atau pengkondisiannya menuju ke arah pendidikan akhlak. Tanpa akhlak yang tinggi dan mulia, keselamatan dan kemajuan tidak akan tercapai, dan berarti tujuan utama kehidupan manusia juga tidak akan tercapai. Dalam hal ini, akhlak mulia menempati posisi urgen.
4. Asas Profesional (keahlian)
Keberhasilan suatu pekerjaan akan banyak tergantung pada profesionalisasi atau keahlian orang yang melakukannya. Demikian juga halnya dengan konseling Islami, pelaksanaannya tiodak akan membuahkan hasil jika para petugasnya (konselor) tidak memilki keahlian khusus untuk itu.
5. Asas Kerahasiaan
Proses konseling harus menyentuh self (jati diri) klien bersangkutan, dan yang paling mengetahui keadaannya adalah dirinya sendiri. Sedangkan problem psikisnya kerapkali dipandang sebagai suatu hal yang dirahasiakan. Sementara ia tdak dapat menyelesaikannya secara mandiri, sehingga ia memerlukan bantuan orang yang lebih mampu.
SUMBER BACAAN
Syaiful Akhyar Lubis, 2007, Konseling Islam, Yogyakarta: eLSAQ Press